Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta
comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun
sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan
kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah.
Ketergantungan
pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali
tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru
semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta.
Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD)
tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis
ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan
nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini
dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara
berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan
mengurusi proyek di daerah.
Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus
balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi,
sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi.
Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk
mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah
pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi
proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan nasional tidak ada waktu
untuk belajar tentang situasi global, tentang international relation,
international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk
menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang
seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi
masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak
pada ketiadaan kreativitas daerah karena ketiadaan kewenangan dan uang yang
cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan
kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada
pemerintah pusat yang sangat besar.
Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely
bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang
terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke
daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik
Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman pemerintah
daerah.
Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta,
daerah-daerah mengumumkan persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di
Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung. Itu menjadi bukti bahwa
pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan
pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan
pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi
kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya
menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada penyerahan kewenangan
dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan
kewenangan.
Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat
ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa
perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat
daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di
Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para
anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5
Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
pemerintahan dan perkembangan keadaan.
Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema
otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan
untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah.
Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan
masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan
memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan ketika masa
orde baru.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun,
karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,
dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk
untuk menggantikannya.
Pada
15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya
kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan,
pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu
karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi
lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik.
Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro
strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons,
berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.